Cara Menetukan Awal Bulan Ramadhan dan Syawal
Cara penetapan awal bulan ramadhan dan syawal adalah dengan rukyatul hilal atau dengan menyempurnakan syakban 30 hari.Allah Tabaraka wa Ta'ala berfirman:
Al-Baqarah: 185
شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِيَ أُنزِلَ فِيهِ الْقُرْآنُ هُدًى لِّلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِّنَ الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ فَمَن شَهِدَ مِنكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ وَمَن كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِّنْ أَيَّامٍ أُخَرَ يُرِيدُ اللّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلاَ يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ وَلِتُكْمِلُواْ الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُواْ اللّهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Qur'an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil). Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur.
Tafsir / Indonesia / DEPAG / Surah Al Baqarah 185
Pada ayat ini Allah menerangkan bahwa puasa yang diwajibkan itu ialah pada bulan Ramadan. Untuk mengetahui awal dan akhir bulan Ramadan Rasulullah saw. telah bersabda:
صوموا لرؤيته و أفطروا لرؤيته فإن غبي عليكم (و في رواية : فإن غم عليكم) فأكملوا عدة شعبان ثلاثين (و في رواية مسلم : فاقدروا ثلاثين)
Artinya:
Berpuasalah kamu karena melihat bulan (Ramadan) dan berbukalah kamu karena melihat bulan (Syawal). Apabila tertutup bagi kamu (dalam satu riwayat mengatakan: Apabila tertutup bagi kamu disebabkan cuaca yang buruk), maka sempurnakanlah bulan Syakban tiga puluh hari (dan dalam satu riwayat Muslim "takdirkanlah" atau hitunglah bulan Syakban tiga puluh hari). (HR Bukhari dan Muslim)
Apakah tertutup bulan itu, karena cuaca yang tidak mengizinkan, atau memang karena menurut hitungan falakiyah belum bisa dilihat pada tanggal 29 malam 30 Syakban, atau pada tanggal 29 malam 30 Ramadan, tidaklah kita persoalkan di sini. Akan tetapi barang siapa yang melihat bulan Ramadan pada tanggal 29 masuk malam 30 bulan Syakban, atau ada orang-orang yang melihat yang dapat dipercayainya, maka ia wajib berpuasa besok harinya. Kalau tidak, maka ia harus menyempurnakan bulan Syakban 30 hari. Begitu juga barang siapa yang melihat bulan Syawal pada tanggal 29 malam 30 Ramadan, atau ada yang melihat yang dapat dipercayainya, maka ia wajib berbuka besok harinya, kalau tidak, maka ia harus menyempurnakan puasa 30 hari.
Sebaiknya dalam hal penetapan permulaan hari puasa Ramadan dan hari raya Syawal agar dipercayakan kepada pemerintah, sehingga kalau ada perbedaan pendapat bisa dihilangkan dengan satu keputusan pemerintah, sesuai dengan kaidah yang berlaku:
حكم الحاكم يرفع الخلاف
Artinya: Putusan penguasa menghilangkan/menghapuskan perbedaan pendapat.
Orang-orang yang tidak dapat melihat bulan Ramadan seperti penduduk yang berada di daerah kutub utara atau selatan di mana terdapat enam bulan malam di kutub utara dan enam bulan siang di kutub selatan, maka hukumnya disesuaikan dengan daerah tempat turunnya wahyu yaitu, Mekah yang pada daerah tersebut dianggap daerah mu'tadilah (daerah sedang atau pertengahan) atau diperhitungkan kepada tempat yang terdekat dengan daerah kutub utara dan kutub selatan.
Pada ayat 185 ini, Allah mengulangi memperkuat ayat 184, bahwa walaupun berpuasa diwajibkan, tetapi diberi kelonggaran bagi orang-orang yang sakit dan musafir untuk tidak berpuasa pada bulan Ramadan dan menggantikan pada hari-hari yang lain. Kemudian pada penutup ayat ini Allah menekankan supaya disempurnakan bilangan puasa itu dan menyuruh bertakbir serta bersyukur kepada Allah atas segala petunjuk-petunjuk yang diberikan.
Tafsir / Indonesia / Jalalain / Surah Al Baqarah 185
Hari-hari tersebut adalah (bulan Ramadan yang padanya diturunkan Alquran) yakni dari Lohmahfuz ke langit dunia di malam lailatulkadar (sebagai petunjuk) menjadi 'hal', artinya yang menunjukkan dari kesesatan (bagi manusia dan penjelasan-penjelasan) artinya keterangan-keterangan yang nyata (mengenai petunjuk itu) yang menuntun pada hukum-hukum yang hak (dan) sebagai (pemisah) yang memisahkan antara yang hak dengan yang batil. (Maka barang siapa yang menyaksikan) artinya hadir (di antara kamu di bulan itu, hendaklah ia berpuasa dan barang siapa sakit atau dalam perjalanan, lalu ia berbuka, maka wajib baginya berpuasa sebanyak hari yang ditinggalkannya itu pada hari yang lain) sebagaimana telah diterangkan terdahulu.
Diulang-ulang agar jangan timbul dugaan adanya nasakh dengan diumumkannya 'menyaksikan bulan' (Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesempitan) sehingga oleh karenanya kamu diperbolehkan-Nya berbuka di waktu sakit dan ketika dalam perjalanan. Karena yang demikian itu merupakan `illat atau motif pula bagi perintah berpuasa, maka diathafkan padanya. (Dan hendaklah kamu cukupkan) ada yang membaca 'tukmiluu' dan ada pula 'tukammiluu' (bilangan) maksudnya bilangan puasa Ramadan (hendaklah kamu besarkan Allah) sewaktu menunaikannya (atas petunjuk yang diberikan-Nya kepadamu) maksudnya petunjuk tentang pokok-pokok agamamu (dan supaya kamu bersyukur) kepada Allah Taala atas semua itu.
Dalam ayat di atas terkandung pengertian wajib untuk menunaikan puasa Ramadhan sejak awal sampai akhir bulan. Untuk mengetahui awal dan akhir bulan ini dapat ditempuh cara sebagai berikut:
Pertama: Dengan Ru'yatul Hilal
Ru'yah (melihat) hilal (untuk menentukan) bulan Ramadhan atau Syawwal. Oleh karena itu, jika ru'yah bulan Ramadhan telah ditetapkan maka diwajibkan berpuasa, dan jika ru'yah bulan Syawwal telah ditetapkan maka wajib tidak berpuasa (berbuka), baik itu dilihat sendiri maupun dilihat oleh orang lain dan beritanya itu memang benar.Yang menjadi dalil hal tersebut adalah:
1. Hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar Radhiyallahu 'anhuma, bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah menyebut Ramadhan, lalu beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
Janganlah kalian berpuasa sampai kalian melihat hilal (bulan Ramadhan) dan jangan pula kalian berbuka (tidak berpuasa) sampai kalian melihatnya (bulan Syawwal). Jika awan menyelimuti kalian maka perkirakanlah untuknya.[Diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim. (Shahiih al-Bukhari (III/24) dan Shahiih Muslim (III/122))]2. Hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu, ia berkata, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
Berpuasalah kalian karena melihatnya (hilal) dan berbuka (tidak berpuasa) karena melihatnya pula. Dan jika awan (mendung) menutupi kalian, maka sempurnakanlah hitungan bulan Sya'ban menjadi tiga puluh hari.[Diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim. (Shahiih al-Bukhari (III/24) dan Shahiih Muslim (III/122))]
Dengan dalil-dalil tersebut, maka tampak jelas bahwa Pembuat syari'at telah menggantungkan hukum masuknya bulan Ramadhan pada suatu hal yang tampak secara kasat mata oleh manusia, yang berjalan melintasi mereka tanpa kesulitan dan beban. Bahkan mereka dapat melihat bulan dengan mata mereka secara langsung. Yang demikian itu merupakan bagian dari kesempurnaan nikmat Allah kepada hamba-hamba-Nya.
Cara Melihat Hilal
Para ulama telah berbeda pendapat dalam menetapkan hilal (permulaan bulan) Ramadhan dan Syawwal, terdiri dari beberapa pendapat berikut ini:- Ada yang berpendapat, untuk melihat hilal itu harus dilakukan oleh sekumpulan orang yang banyak.
- Ada juga yang berpendapat, untuk melihat hilal ini cukup dilakukan oleh dua orang muslim yang adil.
- Juga ada yang berpendapat, untuk melihatnya cukup dilakukan oleh satu orang yang adil.
1. Para Pengikut Madzhab Hanafi
Mereka mengatakan bahwa langit itu tidak lepas dari dua keadaan, bisa cerah dan bisa juga tidak cerah (berawan).
Pertama, jika langit cerah, maka harus dilihat oleh sekumpulan orang untuk menetapkan masuk dan keluarnya bulan Ramadhan. Disyaratkan dengan banyaknya orang karena dengan banyaknya orang yang melihat hilal di suatu tempat, maka tidak ada halangan sama sekali untuk melihatnya. Hal tersebut karena mereka memiliki pandangan mata yang sehat dan keinginan yang sangat kuat untuk mencari hilal. Adapun jika dilihat oleh satu orang saja, maka tidak dibenarkan.
Kedua, jika langit tidak cerah karena awan, debu atau yang lainnya, maka ru'yatul hilal cukup dengan kesaksian satu orang muslim yang adil, berakal, dan baligh. Hal itu merupakan masalah agama sehingga termasuk riwayat pengabaran.
2. Para Pengikut Madzhab Maliki Hilal
Ramadhan ditetapkan melalui tiga cara, yaitu:
Pertama, hilal itu dilihat oleh sekumpulan orang yang terdiri dari banyak orang, meskipun mereka tidak adil. Mereka adalah sekumpulan orang yang menurut kebiasaan dinilai aman dari kebohongan.
Kedua, dilihat oleh dua orang yang adil atau lebih, sehingga dengan ru'yah keduanya, puasa atau tidak berpuasa ditetapkan dalam keadaan berawan dan cerah.
Ketiga, dilihat oleh satu orang yang adil sehingga puasa atau tidak berpuasa ditetapkan melalui penglihatannya, baik untuk orang itu sendiri maupun untuk orang lain yang diberi kabar dan yang tidak memberi perhatian terhadap hilal.
Adapun hilal Syawwal dapat ditetapkan melalui penglihatan satu jama'ah yang terdiri dari banyak orang yang dinilai aman dari kebohongan. Pemberitahuannya itu bisa menjadi pengetahuan atau dapat ditetapkan pula melalui penglihatan dua orang yang adil.
3. Para Pengikut Madzhab Syafi'i
Ru'yatul hilal untuk bulan Ramadhan, Syawwal atau bulan lainnya bagi manusia secara umum ditetapkan melalui penglihatan seorang yang adil, baik langit dalam keadaan cerah maupun tidak. Orang yang melihat itu harus adil, muslim, baligh, berakal, merdeka, dan laki-laki, dan harus menggunakan ucapan, "Saya bersaksi..."
4. Para Penganut Madzhab Hanbali
Ru'yatul hilal Ramadhan ditetapkan melalui ucapan satu orang yang mukallaf, adil, laki-laki maupun perempuan, merdeka maupun budak, dengan lafazh kesaksian dan yang lainnya.
Ru'yatul hilal bulan Syawwal ditetapkan melalui penglihatan dua orang yang adil. Mereka membolehkan penglihatan satu orang untuk ru'yatul hilal bulan Ramadhan karena dimaksudkan untuk ihtiyath (kehati-hatian) dalam menjalankan ibadah. Hal tersebut sebagaimana ihtiyath terhadap ru'yatul hilal bagi keluarnya bulan Ramadhan yang harus dilakukan oleh dua orang atau lebih.
Madzhab-madzhab yang ada telah sepakat untuk tidak memakai hisab (perhitungan) dalam penetapan bulan Ramadhan atau Syawwal. Mereka mengatakan, "Sesungguhnya penetapan masuk dan keluarnya bulan Ramadhan didasarkan pada penglihatan dengan mata telanjang."
Kami menilai bahwa yang rajih (kuat) dalam menetapkan hilal Ramadhan cukup dengan kesaksian satu orang saja. Sedangkan pada ru'yah hilal bulan Syawwal harus didasarkan pada kesaksian dua orang. Untuk menerima kesaksian ru'yatul hilal ini disyaratkan agar orang yang memberi kesaksian itu harus sudah baligh, berakal, muslim, dan beritanya dapat dipercaya atas amanat dan penglihatannya.
Sedangkan kesaksian anak kecil tidak dapat dijadikan dasar penetapan masuk dan keluarnya bulan Ramadhan, karena ia tidak dapat dipercaya. Demikian juga halnya dengan seorang yang tidak waras (gila).
Kesaksian orang kafir juga tidak dapat dijadikan dasar untuk menetapkannya, karena Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah berkata kepada orang Badui:
Apakah kamu bersaksi bahwa tidak ada ilah yang berhak diibadahi dengan benar kecuali Allah dan bahwasanya aku adalah Rasulullah.
Dengan demikian, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah menyandarkan penerimaan kesaksian seseorang itu pada keislamannya.
Sedangkan orang yang beritanya tidak dipercaya karena telah dikenal suka berbohong atau suka bertindak tergesa-gesa atau karena dia memiliki pandangan lemah yang tidak memungkinkan baginya untuk melihat hilal, maka kesaksiannya tidak dapat dijadikan dasar untuk menetapkan bulan Ramadhan. Hal tersebut karena adanya keraguan terhadap kejujuran dan sifat dusta yang dominan pada dirinya.
An-Nawawi rahimahullah mengatakan,
...Yang dimaksud adalah penglihatan sebagian kaum muslimin. Dan tidak disyaratkan ru'yah itu dilakukan oleh setiap orang, tetapi cukup dilakukan oleh dua orang yang adil. Demikian menurut pendapat yang paling shahih, dan itulah yang berlaku pada bulan puasa. Sedangkan pada bulan Syawwal, maka kesaksian satu orang saja untuk ru'yatul hilal Syawwal tidak dibolehkan menurut Jumhur Ulama, kecuali Abu Tsaur, di mana dia membolehkannya dengan seorang yang adil...[Shahiih Muslim bi Syarh an-Nawawi (VII/190)]
Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan,
Di antara petunjuk Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah tidak membolehkan seseorang memasuki puasa Ramadhan kecuali dengan ru'yatul hilal yang sudah terbukti, atau kesaksian satu orang, sebagaimana beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam melaksanakan puasa berdasarkan pada kesaksian Ibnu Umar Radhiyallahu 'anhuma. Selain itu, beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam juga berpuasa berdasarkan kesaksian seorang Badui dan bersandar pada pemberitahuan dari keduanya...[Zaadul Ma'aad (I/1325)]
Ibnu Hajar al-Asqalani rahimahullah mengatakan,
... Penyandaran ru'yah tidak pada setiap orang, tetapi yang dimaksudkan dengan hal tersebut adalah ru'yah sebagian orang saja, yaitu orang yang bisa dipercaya untuk itu. Menurut Jumhur Ulama adalah satu orang, sedangkan menurut yang lainnya adalah dua orang...[Fat-hul Baari (IV/123) dan lihat kitab Haasyiyah Ibni Abidin (II/384 dan setelahnya), Syarh ash-Shaghiir (II/219 dan setelahnya), Raudhatuth Thaalibiin (II/345), al-Mughni (IV/325 dan setelahnya), Subulus Salaam (II/207 dan setelahnya)]
Kedua: Menyempurnakan Sya'ban Menjadi 30 Hari [Masalah kedua yang digunakan untuk menetapkan masuk dan keluar-nya Ramadhan. Di mana hal pertama sebelumnya adalah ru'yatul hilal]
Masuknya bulan Ramadhan dapat pula ditetapkan melalui penyempurnaan bulan Sya'ban menjadi 30 hari, sebagaimana keluarnya bisa juga ditetapkan dengan menyempurnakan bulan Ramadhan menjadi 30 hari. Hal itu dilakukan pada saat tidak bisa dilakukan ru'yatul hilal, baik saat masuk maupun keluarnya bulan Ramadhan.
Hal tersebut telah ditunjukkan oleh hadits Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu, ia berkata,
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Berpuasalah kalian karena melihatnya (hilal bulan Ramadhan) dan berbukalah karena melihatnya pula. Dan jika awan menaungi kalian, maka sempurnakanlah bilangan bulan Sya'ban menjadi 30 hari...[Diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim. (Shahiih al-Bukhari (III/24) dan Shahiih Muslim (III/122))]
[Disalin dari buku Meraih Puasa Sempurna, Diterjemahkan dari kitab Ash-Shiyaam, Ahkaam wa Aa-daab, karya Dr. Abdullah bin Muhammad bin Ahmad ath-Thayyar, Penerjemah Abdul Ghoffar EM, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir]
Dr. Abdullah bin Muhammad bin Ahmad Ath-Thayyar
www.muslim.or.id
No comments:
Post a Comment