Sesungguhnya
telah terhimpun pada diri Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam sejak dari
perkembangannya kelebihan-kelebihan yang merupakan terbaik yang ada pada
lapisan masyarakat kala itu. Beliau adalah tipe manusia utama dari sisi
kejernihan berpikir dan ketajaman pandangan. Beliau memiliki porsi
kecerdikan yang lebih, orisinilitas pemikiran dan ketepatan sarana dan
misi. Beliau biasa diam berlama-lama untuk renungan yang panjang,
pemusatan pikiran serta pencapaian kebenaran. Dengan akalnya yang
brilian dan fithrahnya yang suci beliau memonitor lembaran kehidupan,
urusan manusia dan kondisi banyak kelompok. Karenanya, beliau acuh
terhadap segala bentuk khurafat dan jauh sejauh-sejauhnya dari hal itu.
Beliau berinteraksi dengan manusia secara profesional baik terhadap
dirinya ataupun diri mereka; hal yang baik beliau ikut berpartisipasi
didalamnya dan jika tidak, maka beliau lebih memilih untuk mengasingkan
diri. Beliau tidak pernah minum khamar, tidak pernah makan daging yang
dipersembahkan kepada berhala, tidak pernah menghadiri perayaan untuk
berhala ataupun pesta-pestanya bahkan dari sejak pertumbuhannya sudah
menghindari dari sesembahan yang bathil. Lebih dari itu, beliau malah
amat membencinya dan tidak dapat menahan dirinya bila mendengar sumpah
serapah dengan nama laata dan ‘uzza.
Tidak
dapat disangkal lagi bahwa berkat takdir ilahi lah beliau dapat terjaga
dari hal tersebut; manakala hawa nafsu menggebu-gebu untuk mengintai
sebagian kenikmatan duniawi dan rela mengikuti sebagian tradisi tak
terpuji, ketika itulah ‘inaayah rabbaniyyah menghalanginya dari hal-hal
tersebut.
Ibnu
al-Atsir meriwayatkan, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam
bersabda: “aku hanya dua kali pernah berkeinginan untuk melakukan apa
yang pernah dilakukan oleh Ahli Jahiliyyah namun semua itu dihalangi
oleh Allah sehingga aku tidak melakukannya, kemudian aku berkeinginan
lagi untuk melakukannya hingga Dia Ta’ala memuliakanku dengan
risalahNya. (Pertama kalinya-red);Suatu malam aku pernah berkata kepada
seorang anak yang menggembala kambing bersamaku di puncak Mekkah;
‘sudikah kamu mengawasi kambingku sementara aku akan memasuki Mekkah dan
bergadang ria seperti yang dilakukan oleh para pemuda tersebut?’. Dia
menjawab: ‘ya, aku sudi! ‘. Lantas aku pergi keluar hingga saat berada
di sisi rumah yang posisinya paling pertama dari Mekkah, aku mendengar
suara alunan musik (tabuhan rebana), lalu aku bertanya: apa gerangan
ini?, mereka menjawab: ‘prosesi pernikahan si fulan dengan si fulanah!
‘.
Kemudian aku duduk-duduk untuk mendengarkan, namun Allah melarangku untuk mendengarkannya dan membuatku tertidur. Dan tidurku amat lelap sehingga hampir tidak terjaga bila saja terik panas matahari tidak menyadarkanku. Akhirnya, aku kembali menemui temanku yang langsung bertanya kepadaku tentang apa yang aku alami dan akupun memberitahukannya. Kemudian (kedua kalinya-red), aku berkata pada suatu malam yang lain seperti itu juga; aku memasuki Mekkah namun aku mengalami hal yang sama seperti malam sebelumnya; lantas aku bertekad, untuk tidak akan berkeinginan jelek sedikitpun”.
Kemudian aku duduk-duduk untuk mendengarkan, namun Allah melarangku untuk mendengarkannya dan membuatku tertidur. Dan tidurku amat lelap sehingga hampir tidak terjaga bila saja terik panas matahari tidak menyadarkanku. Akhirnya, aku kembali menemui temanku yang langsung bertanya kepadaku tentang apa yang aku alami dan akupun memberitahukannya. Kemudian (kedua kalinya-red), aku berkata pada suatu malam yang lain seperti itu juga; aku memasuki Mekkah namun aku mengalami hal yang sama seperti malam sebelumnya; lantas aku bertekad, untuk tidak akan berkeinginan jelek sedikitpun”.
Imam
al-Bukhari meriwayatkan dari Jabir bin ‘Abdullah, dia berkata: “ketika
Ka’bah direnovasi, Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam dan ‘Abbas bekerja
mengangkut bebatuan, lalu ‘Abbas berkata kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi
wasallam :’tarik kainmu hingga sebatas lututmu agar kamu tidak terluka
oleh bebatuan, namun beliau tetap tersungkur ke tanah dalam posisi
terlentang sedangkan kedua mata beliau mengarah ke langit, tak berapa
lama kemudian beliau baru tersadar, sembari berkata: ‘mana kainku! mana
kainku!’. Lalu beliau mengikat kembali kain tersebut dengan kencang. Dan
dalam riwayat yang lain:’maka setelah itu, tidak pernah lagi ‘aurat
beliau kelihatan’.
Di
kalangan kaumnya, Nabi Shallallahu ‘alaihi wasalam memiliki
keistimewaan dalam tabi’at yang manis, akhlak yang mulia dan sifat-sifat
yang terpuji. Beliau merupakan orang yang paling utama dari sisi
muruu-ah (penjagaan kesucian dan kehormatan diri), paling baik
akhlaknya, paling agung dalam bertetangga, paling besar tingkat
kelemahlembutannya, paling jujur bicaranya, paling lembut wataknya,
paling suci jiwanya, paling dermawan dalam kebajikan, paling baik dalam
beramal, paling menepati janji serta paling amanah sehingga beliau
dijuluki oleh mereka dengan al-Amiin. Hal itu semua lantaran bertemunya
kepribadian yang shalih dan pekerti yang disenangi. Maka pantaslah
dikatakan terhadap beliau sebagaimana yang dikatakan oleh Ummul
Mukminin, Khadijah radhiallâhu ‘anha ; “orang yang memikul beban si
lemah, memberi nafkah terhadap si papa (orang yang tidak memiliki/tanpa
apa-apa), menjamu tetamu dan selalu menolong dalam upaya penegakan
segala bentuk kebenaran.
Sumber : Kitab Ar-Rahiqul Makhtum karya Syaikh Shafiyyur-Rahman Al-Mubarakfury
Sumber : Kitab Ar-Rahiqul Makhtum karya Syaikh Shafiyyur-Rahman Al-Mubarakfury
No comments:
Post a Comment